Sabtu, 25 Agustus 2012

TUMBUH

TUMBUH 
-Widji Thukul

                                                                                     
                                                                    adalah
                                                                                                   
                                                                            biji

                                                                               yang terus tumbuh

                                                                        menjadi


                                                                    kata

                                                                 kata

                                                               kata

                                                                 Lawan.


 (2011)

Selasa, 20 Desember 2011

Manusia itu Rapuh dan Mudah Terbakar

Sama sekali tak ada maksud dari jari untuk menghancurkan mahkluk kecil nan rapuh yang datang entah dari mana.

Hanya tiba-tiba ia melintas, dan reflek jari begitu cepat berniat menjatuhkan si mahkluk ke lantai, biar cari lintasan baru tuk berjalan. seperti ketika ingin menyingkirkan semut atau kepik atau laba-laba kecil yang sedang berjalan,jatuh dari ketinggian mejapun ia tak akan mati, seharusnya

Namun persis hanya sekejap. Lebih cepat dari jentikan jari, bukan jatuh malah hancur.

dan yang langsung terbayang di benak adalah kilasan cepat kehidupan seperti menjelang kematian:


begitu saja, tidak perlu ada drama.





mungkin sebabnya mahkluk kecil putih itu tidak mempunyai eksoskleleton seperti serangga-serangga lain. terlalu rapuh.

sama seperti manusia yang juga tidak mempunyai eksoskeleton.



Rapuh



dan mudah terbakar.



bagaimana jika ada

mahkluk superfisial yang lebih jago dari kita yang tiba-tiba melakukan yang mirip dengan niat jari saya untuk menyingkirkan saja serangga rapuh itu dan akhirnya hanya berujar sesudah semuanya terlambat:

"ooops, my bad"


Tamat.

Senin, 08 Agustus 2011

49 Menit


Gedung pasca sarjana Sekolah Tinggi FIlsafat (STF) Driyakara itu mentereng baru di pojok belakang bangunan lama. Di lantai 4, di ruang nomor dua dari kanan romo Herry Priyono sudah siap di ruangan. Lansung saya memperkenalkan diri, dan ternyata dia masih ingat. Rokok Dunhill dengan bungkus warna perak miliknya segera disulut, di pojok ruangan alunan lagu klasik mengalir dari cd player. Dan berikut adalah narasi diskusi selama 49 menit malam itu:


Kami sedang mengupayakan sebuah inisiatif kecil mengenai kredit mikro di penduduk sekitar kampus. Namun kita sedikit mengalami keraguan karena yang akan kita hadapi adalah penduduk urban yang mempunyai habitus kredit untuk konsumsi. Bagaimana mengatasinya?


Untuk pertanyaan How? seperti ini maka jawabanya hanyalah come and see. (romo Herry lekas mengambil sebuah buku yang berisi alamat Rm Sumarwan SJ, seorang penggagiat micro credit di Jakarta). Kasusnya mirip, masyarakat urban. Segera kamu kesana dan ikut dalam kegiatanya.

Seberapa besar sebenarnya impact dari berbagai kegiatan “kecil” macam kredit mikro?

Jika menyankut hal ini maka pertanyaan bukan lagi how yang jawabanya tak lain adalah come and see namun sudah mengangkut Why? Yang membutuhkan eksplorasi. Pertama-tama hampir mustahil untuk menggantikan sistem yang sudah ada. Sehingga yang paling mungkin adalah dengan menciptakan beberapa alternatif. Sehingga jika sistem yang ada sekarang kolaps, ada pegangan-pegangan lain yang menopang kehidupan sosial. Selain itu, alternatif-alternatif yang ada sekarang ini juga mengurangi penghisapan yang dilakukan oleh sistem.

(seketika romo Herry menghadap papan tulis dan mulai menggambar):




Jika dunia ini dikuasai oleh suatu sistem x, maka pada celah-celah di dunia ini harus diciptakan alternatif-alternatif yang non-x. Atau alternatif lain yang biarpun tidak beroposisi langsung (seperti non-x) namun tetap berbeda dari x seperti y atau n.
Salah satu contohnya adalah ketika seorang Aburizal Bakrie perusahaannya kolaps, dia tetap saja bisa makmur, namun bagaimana dengan seorang pedagang sayur?

Banyak dari kawan-kawan merasa frustrasi ketika harus menghadapi sistem x tersebut karena kadang sifatnya yang ada di mana saja dan telah merasuk dalam segala sendi kehidupan. Kadang mereka juga menganggap bahwa posisi untuk meciptakan alternatif lain selain non-x, atau untuk tidak terlalu frontal untuk menghancurkan sistem x dianggap kompromistis…

Untuk apa saya kompromi tetapi itu berarti kematian? Bukannya tujuan dari semua ini adalah kehidupan?

Menurut saya itu bukan kompromi tapi pada kondisi survival yang pada prinsipnya tetap setia kepada kebenaran. Selain itu kompromi atau tidak kompromi kadang sering dijadikan jargon ideologis belaka. Dimana nantinya dalam polemik ideologi yang berhadapan hanya akan mempertegas posisi masing-masing dan memperuncing perdebatan.
Bagaimanapun market is not always a bad thing… Seperti layaknya hutan yang didalamnya banyak sekali pohon yang tidak homogen. Tinggal persoalannya terletak pada kita untuk memilih pohon yang membuat kita hidup, bukannya malah mati.

Tapi di lain sisi heroism yang radikal adalah bagian dari kemudaan. Kentungan dari membaca buku dan menjelajah teori adalah kompleksitas setiap sudut gagasan bisa dipelajari dengan lebih mudah. Namun dalam real life, butuh encounter (pertemuan) yang nyata.

Lalu apakah ini berati kompleksitas gagasan tidak perlu? Kemudaan butuh itu, dan pengalaman perlu diasah dengan teori juga. Tapi mau tidak mau tranformasi harus bertemu dengan darah dan daging yang ditunda dalam gagasan.

Contohnya adalah gagasan multitude dari Antonio Negri, ia dengan berhasil mampu mendeskripsikan “massa yang banyak dan jamak” dalam buku. Namun tetap sulit untuk bisa dilihat langsung dalam bentuk darah dan daging. Kalau berhadapan dengan real life, mau tidak mau memang ada negosiasi.

Seperti yang sudah saya bilang tadi, jika pertanyaannya apa dan mengapa? Maka jawabanya bisa dijawab melalui teori. Namun kalau pertanyaan bagaimana? Maka jawabanya sederhana: come and see.

Dalam dunia ide bisa dibilang memang banyak ceteris paribus , atau bisa dibilang banyak yang disederhanakan. Namun dalam dunia riil ceteris paribus itu tidak berlaku, dan yang bersifat nyata sulit untuk diklasifikasikan secara jelas. Seperti pembicaraan kita sekarang ini, apakah ini bisa disebut momen kebudayaan atau momen politis? Bisa disebut pendidikan atau upaya politik? Susah untuk menjelaskannya.

Jelas kita harus tetap untuk membaca buku, itu penting. Namun untuk mencapai kematangan, kini saatnya untuk dialektika antara yang ceteris paribus dan non-ceteris paribus. Tidak ada yang bisa mengetahui masa depan dimana berakhirnya dialektika ini, namun yang pasti akan selalu ada pertentangan abadi anatara tesis dan antithesis. Dimana sintesisnya? Ya di antara antithesis dan sintesis tersebut.

Akan selalu ada keinginan untuk memilih salah satu sisi saja, namun kemudian pasti kita akan jadi miskin. Karena tidak dapat dipungkiri hidup akan selalu dalam tegangan antara yang local dan global, antara aksi dan refleksi, antara dunia dan surga. Jika ingin setia pada kebenaran ya hiduplah dalam tegangan. Biarpun terkadang pilihan hidup seperti itu seringnya painfull dan terasa sendirian.

Lalu dengan hidup dalam tegangan ini disebut tidak konsisten atau tidak tegas? Saya biasa disebut oleh orang kiri dalam posisi kanan dan oleh orang kanan dalam posisi kiri. Kesannya memang tidak begitu tegas, namun konsistensinya justru terletak pada kesetiaan untuk hidup dalam tegangan itu sendiri.

Sayangnya kita hidup dalam republik yang intelektualnya sering memakai kacamata kuda: Lebih mementingkan untuk menjadi keras dalam polemik yang hanya meruncingkan posisi masing-masing.

(Pembicaraan sempat terhenti sebentar, Romo Herry tiba-tiba mengambil BlackBerry TouchScreen milknya, sedikit bercerita bahwa ia mendapatkanya ketika mengisi suatu seminar, bukan dia yang minta, lalu pembicaraan beralih
):

Sekarang ini kita hidup dalam dunia virtual: Handphone, Internet, Televisi. Yang material kebanyakan telah jadi virtual. Tangan kotor di lapangan kadang sudah tidak jadi penting. Padahal Tuhan untuk bisa diimani pun dia harus menjelma menjadi material dulu (dia bicara soal inkarnasi Yesus).

(Lalu sedikit saya bercerita mengenai pengalaman Klub Kebun, ketika kita harus mengolah tanah, menanam bibit sayur dan memperhatikan tanaman itu dari hari ke hari. Semacam ada kesabaran yang tak mungkin terhindarkan untuk mengamati tanaman-tanaman itu. Berbeda dengan ketika kita ada dalam ranah teori yang seringkali ingin cepat sampai di garis finish, ada sesuatu yang tak bisa luput dalam menanam sayuran itu. Kata Romo Herry: Keterlibatan itu memang akan terus mentraining emosi kita. Dan Real Human Being is really complicated).

Senin, 01 Agustus 2011

Kurir Pos Selatan


“Some celestial event. No - no words. No words to describe it. Poetry! They should've sent a poet. So beautiful. So beautiful... I had no idea.” Eleanor ‘Ellie’ Arroway, Contact (1997).

Toh, Ellie pun akhirnya berkata demikian, ketika dia dihadapkan pada pemandangan maha-akbar nan tremendum et fascinatum setelah berhasil mengendarai wahana pertama yang konon dapat mempertemukan manusia dengan alien. Kata-kata sebelumnya yang sanggup dia ucapkan dengan mantap “Mathematics is the only true universal language”, jadi kehilangan taji. Pada momen yang susah payah ia capai dengan logika dan logaritma, ia justru kehilangan kata-kata. Dan untungnya dalam kisah Courrier Sud (Pesawat Pos Selatan) ini kita mendapatkan dua-duanya: seorang pilot dan seorang pencerita yang brilian: Antoine de Saint-Exupéry.

Buku ini saya temukan masih terongok di rak yang sama, di sebuah toko buku di Jogja, sejak 6 bulan yang lalu, masih saja nyempil sendirian. Waktu itu saya ragu membelinya karena merasa sudah cukup banyak membeli buku. Namun saya beli juga beberapa waktu yang lalu, setelah sempat kembali lagi ke toko buku itu, mungkin karena buku itu masih saja di tempat yang sama, sendirian. Dan alhasil banyak hal ajaib yang dapat kita temukan dalam buku ini.

Pertama-tama, jangan anda harap menemukan cerita asik dunia anak kecil seperti karya terakhirnya: Pangeran Kecil. Dan benar saja, setelah banyak teman yang mencicipi buku ini, mereka berkomentar “berat”. Namun novel pertama yang ia tulis ini harus diakui menyimpan keajaibannya sendiri, juga sesuatu yang serba subtil jika memang anda cermat.

Tiap bab bisa jadi merupakan penggalan cerita sendiri, karena itu jangan anda harapkan suatu alur yang lurus nan lempang. Sebuah montase mungkin lebih tepat menggambarkannya: potongan-potongan gambar, kejadian, atau sekedar khayal tak kenal tepi. Seperti halnya suara radio panggil (atau telegram?) dari satu pos ke pos lainnya (yang mengawali dan mengakhiri buku ini), yang ditulis begitu saja, sering tanpa keterangan lebih lanjut, membawa kita pada gambaran usaha manusia menembus kesunyian di Gurun Sahara:

Dari Saint-Louis di Senegal untuk Port-Etienne: pesawat belum tiba di Saint-Louis. Stop. Penting. Beri kabar.


Tersebutlah Jacques Bernis, seorang kurir pos yang biasa berkelana menyisir dataran eropa, menyebrangi laut mediterania dan berkelana jauh ke koloni-koloni di Afrika selalu tampak asing bagi peradaban yang maju. Berkendara pesawat sejenis Lockheed P-38 tua, dengan sayap yang rapuh dan kawat yang selalu bergetar, kita selalu diajak untuk membayangkan perjalanan itu: Langit yang bening menampakkan bintang, bukit pasir yang mengular hingga jauh, tepi laut merah tempat awan bercermin.

Namun keseluruhan cerita di sini bukan melulu mengenai romantisme alam dalam perjalanan udara. Seperti yang hampir mirip kita temukan dalam novel Antoine de Saint-Exupéry yang lain, ada kesenduan pribadi yang merasuk dalam cerita. Jacques Bernis, sang tokoh utama, sering berkelindan dengan tokoh ‘aku’, si narator kisah. Hingga tampak si narator mencoba menceritakan dirinya lewat tokoh Bernis. Dan jika anda ingat si mawar dalam kisah pangeran kecil, maka dalam kisah ini mawar itu bernama Genieve. Dan dalam tokoh Genieve inilah seluruh cerita sebenarnya berputar, termasuk Jacques Bernis dalam memilih tindakannya.

Jelas sekali dalam novel pertamanya ini, terlihat kontras dengan magnum opus dan karya terakhirnya si Pangeran Kecil: Segala hasrat perayaan hidupnya memuncak disana. Namun dapat kita temukan jejak-jejak sebelum Pangeran Kecil muncul, tema yang sama mengenai pesawat terbang, bintang serta padang pasir, pelarian (dalam pangeran kecil, ia lari memanfaatkan gerombolan burung yang bermigrasi!), ketersesatan, pertemuan dan kematian itu.

Mungkin bagi Saint-Exupéry, hidup dirayakan dalam pekerjaan (beserta kenikmatan menikmati pemandangan dari ketinggian) dan ingatan masa kecil. Hingga tepat pada 67 tahun yang lalu, pada 31 Juli 1944, tak lagi kita dapati keberadaannya. Seperti sirna.

Dari Saint-Louis di Senegal untuk Toulouse: Pesawat Perancis-Amerika ditemukan Timur Timeris stop. Dekat daerah musuh. Pilot tewas pesawat hancur surat-surat selamat. Teruskan ke Dakar
.

Dan bagi saya di sinilah letak keajaiban buku ini. Merupakan novel pertama dari Antoine de Saint-Exupéry yang ditulis ahun 1926, namun novel ini juga seakan meramalkan kematiannya sendiri di tahun 1944. JIka tidak percaya, baca buku ini hingga selesai. Sebuah kebetulan? Yang pasti kita jadi agak paham kenapa banyak kritikus menyebut karya ini merupakan otobiografinya. Namun hidup yang seperti sudah ia gariskan 40 tahun sebelumnya? Mungkin hanya kedalaman laut Mediteran, di selatan Carqueiranne, yang bisa paham.

Setelah membaca buku ini seorang teman tiba tiba datang dan membanting buku ini di depan saya. “Apa ini? Buku sampah! Masih jauh lebih bagus Pram! Mendayu-dayu gak jelas”.

Ok.

Tidak semuanya harus jadi Pram bukan? Mao boleh saja pemimpin Revolusi, dan Ho Chin Mihn boleh saja menjadi bapak bangsa Vietnam. Toh puisi yang mereka tulis pun jauh dari garangnya realisme-sosialis: tentang temaram bulan, sejuk semilir angin, sungai yang mengalir pelan.

Jakarta, 31 Juli 2011
Bramantya Basuki

Kamis, 28 April 2011

Puisi Pertama Yang Mija




Si Ibu tua Yang Mija duduk mendongak sambil setengah tersenyum. Matanya memincing kearah sinar matahari yang menyisip diantara dedaunan. Tetangganya lewat sambil bertanya kenapa ia memandangi pohon. “Agar dapat melihatnya lebih cermat, untuk merasanya, untuk dapat memahami pikiran dan mendengar apa yang ia katakana”, timpalnya. Si tetangga hanya terdiam lalu undur pergi.

Itu semua bermula ketika Yang Mija tiba-tiba memutuskan untuk ikut sebuah kelas menulis puisi. “Menulis puisi itu adalah mengenai penemuan keindahan. Tentang menemukan keindahan sejati dalam setiap hal yang kita lihat dalam keseharian kita, tidak hanya sesuatu yang terlihat indah”, suatu kali ujar gurunya. “Setiap dari anda mempunyai puisi dalam hati masing-masing, namun terpenjara. Inilah saat untuk membebaskannya. Puisi di hatimu perlu mendapatkan sayap kebebasannya”, dan dimulailah perjalanan ibu tua ini dalam menulis puisi. Puisi pertama dalam hidupnya yang akan ia tulis.

Film ini menarik karena bercerita tentang bagaimana sebuah puisi diciptakan, selaras dengan judulnya Poetry. Sekilas kita akan langsung teringat beberapa film lawas yang juga bercerita tentang puisi atau penyair semisal Il Postino (1994) atau Tiger in the Snow (2005). Namun pengambilan tokoh utama ibu tua yang sedang mengidap Alzheimer inilah yang membedakan semuanya. Pengkarakterannya mendalam, dan dari segi visual pun membuat kita tak lelah memandang hal-hal yang sebenarnya biasa kita jumpai tiap hari.

Mungkin akan banyak yang akan complaint mengenai kompleksitas cerita. Antara mengasuh si cucu laki-laki Wook, Kelas Menulis Puisi, Komunitas Membaca Puisi, serta Masalah pelik yang melibatkan Wook dan teman-temannya. Namun bagi saya perpaduan banyak hal itu cukup tersaji dengan lezat, seperti bakso pedas yang ditemani oleh sajian es teler nikmat. Yang pelik berpadu dengan keindahan puisi itu sendiri.

Dan itulah yang ditemukan Yang Mija dalam pergulatan menulis puisinya. Disuruh oleh gurunya untuk menemukan keindahan, yang ditemui oleh yang mija malah kebalikannya. Bukan hanya keindahan namun juga luka. Wook dan teman-teman sekolahnya diketahui terlibat dalam kasus bunuh diri seorang siswi putri yang terjun di sebuah kali. Ia harus mencari sejumlah uang untuk membayar kompensasi dan uang tutup mulut kepada keluarga korban. Ibu Wook, yang selalu berkomunikasi dengan Yang Mija lewat handphone seperti nyata dan tak nyata, ia tak pernah hadir.

Sedikit demi sedikit nenek tua ini mengikuti jejak Agnes, siswi yang sudah mati itu di ruang kelas, laboratorium, pemakaman hingga ke tempat ibunya tinggal. Si Wook sendiri malah acuh, ia tetap menonton TV dan bermain game seolah tak ada yang terjadi. Kenyataan sehari-hari yang dialami Yang Mija pun semakin menjauhi keindahan.

Dari sini dapat kita ulik beberapa kritik yang mungkin ingin disampaikan lewat film ini. Yang pertama seputar tema kecantikan atau kerupawanan yang sering muncul dalam film maupun grup musik Korea yang digandrungi oleh banyak orang. Seolah olah timbul spekulasi bahwa semakin bagus rupa pemainnya maka semakin menjanjikan film/grup musik itu. Soal jalinan cerita bisa nomor dua. Soal musikalitas dari para grup musik itu tak perlu dipersoalkan. Bahkan pernah teman saya berujar bahwa di Korea sana, yang bermuka jelek pasti segera didiskriminasi, makanya operasi plastik sangat laku di negeri itu. Sedikit banyak hal ini tampak dari para pemain dari film ini tidak ada yang rupawan namun bermain menawan. Bahkan waktu tahu ini adalah sebuah film Korea pertama kali saya sempat skeptis ingin menyamakan dengan opera sabun yang sejeninsya. Namun tak berlebihan film ini diganjar penghargaan Palme d'Or nya festival Cannes.

Kritik yang kedua adalah tema seksualitas yang beberapa kali muncul dalam film ini. Seksualitas yang ingin dikritik di sini adalah seksualitas yang selalu mendiskreditkan tubuh perempuan. Mereka yang selalu diteropong sebagai objek seks belaka. Hal ini nampak dalam banyak kejadian dalam film ini yang menempatkan perempuan sebagai korban stigmatisasi tersebut.

Sedari awal mungkin kita sudah bisa menebak, bahwa film ini akan diakhiri dengan puisi. Dan harus diakui, satu-satunya yang ganjil dalam cerita ini adalah bagaimana puisi pertama itu tercipta. Memang Yang Mija telah melewati dan mencatat dalam peristiwa untuk bisa puisi itu ditulis. Namun puisi indah yang mengakhiri film ini tetap saja seperti Deus Ex Machina. Sesuatu yang dating seperti wahyu, bukan pergulatan panjang bertahun-tahun. Tapi biarlah, toh puisi terakhir itu juga merupakan gong penutup yang sempurna, biarpun kita akan ingat sedikit teringat ending film The Sea Inside (2008) karenanya.

Mengungkapkan puisi itu dalam tulisan ini tentu akan menjadi spoiler tingkat tinggi. Namun karena menjadi spoiler itu menyenangkan, saya tak tahan untuk menggubah puisi itu ke dalam bahasa Indonesia:

Seperti apakah disana? Seberapa sepikah? Masihkah di sana senja berwarna merah?
Apakah burung-burung masih masih bernyanyi dalam terbangnya ke hutan?
Dapatkah kau terima suratku yang tak pernah berani kukirimkan?
Mampukah aku menyampaikan pengakuan yang tak pernah berani kuakui?
Akankah waktu berjalan dan mawar merepih?
Kini adalah waktunya tuk mengucap selamat tinggal.

Layanya angin yang berhembus pelan lalu kemudian menghilang
hampir seperti bayang-bayang

Kepada janji yang tak pernah terjadi
kepada cinta yang akan terus buntu
kepada rerumputan yang mencumbui kakiku yang letih
dan kepada jejak-jejak kecil yang terus mengikutiku
Kini adalah waktunya tuk mengucap selamat tinggal.

kini ketika gelap tiba
akankah kandil dinyala kembali?
dan dari sini ku berharap, tak seorangpun kan menangis
sekedar kau ketahui betapa ku mencitaimu

saat penantian panjang di tengah parau kemarau
jalan tua itu membuat teringat akan muka ayahku
bahkan dalam kesendiriannya bunga liar itu ikut berpaling malu

betapa dalam rasa ini
betapa jantungku tiba-tiba mekar mendengar nyanyi sunyimu
senantiasa ku kan mendoakanmu, sebelum kusebrangi sungai hitam itu
dengan nafas terakhir di jiwaku

sekarang aku mulai memimpikan sebuah minggu yang cerah
dan lagi, aku terbangun oleh silau mentari
serta kudapati kau berdiri di sisiku



Film ini mungkin bisa menjadi semacam catatan kaki bagi kita tentang keindahan, kecantikan atau kerupawanan. Terutama pada sebuah zaman dimana yang indah bukan lagi pengalaman personal dan interpersonal, namun telah dibuat masal oleh media informasi.

Yang Mija akhirnya tidak hanya menuliskan keindahan dalam puisi peramanya. Terdapat luka dan derita yang tak terelakkan. Tapi berkat itu sebuah puisi menjadi liris, bermakna. Ia tak berisi puja-puji kosong atau igauan tentang segala sesuatu yang elok. Dan dengan demikian kita pun semakin ragu: Benarkah ada derita dalam keindahan, atau karena ada derita itulah maka muncul keindahan?

(Bramantya Basuki)

Rabu, 02 Juni 2010

Hollow Man - T.S. Elliot


I


We are the hollow men
We are the stuffed men
Leaning together
Headpiece filled with straw. Alas!
Our dried voices, when
We whisper together
Are quiet and meaningless
As wind in dry grass
Or rats' feet over broken glass
In our dry cellar

Shape without form, shade without colour,
Paralysed force, gesture without motion;

Those who have crossed
With direct eyes, to death's other Kingdom
Remember us -- if at all -- not as lost
Violent souls, but only
As the hollow men
The stuffed men.

Senin, 17 Mei 2010

60 detik


Namanya adalah kesabaran, segala persiapan untuk membuat kamar benar-benar gelap, mematikan lampu koridor, lampu di dapur dan sekelumit keberuntungan akan malam yang sangat cerah!

5 tahun tidur bersama pemandangan ini dan selalu mendengar percakapan yang sama antara si pilot dan si pangeran kecil:


"It was wrong of you to come. You will suffer. I shall look as if I were dead; and that will not be true..."

I said nothing.

"You understand ... It is too far. I cannot carry this body with me. It is too heavy."

I said nothing.

"But it will be like an old abandoned shell. There is nothing sad about old shells ..."

I said nothing. He was a little discouraged. But he made one more effort:

"You know, it will be very nice. I, too, shall look at the stars. All the stars will be wells with a rusty pulley. All the stars will pour out fresh water for me to drink ..."

I said nothing.

"That will be so amusing! You will have five hundred million little bells, and I shall have five hundred million springs of fresh water ..."

And he too said nothing more, because he was crying...

"Here it is. Let me go on by myself."


( Oya, jika tak bisa kau lihat lima ratus juta bel kecil itu berdering bersama, gelapkan sekitarmu dan lihat dengan lebih seksama. Kilap lampu kota memang sering membuat kita lupa ada yang jutaan kali lebih terang di atas sana)