Senin, 08 Agustus 2011

49 Menit


Gedung pasca sarjana Sekolah Tinggi FIlsafat (STF) Driyakara itu mentereng baru di pojok belakang bangunan lama. Di lantai 4, di ruang nomor dua dari kanan romo Herry Priyono sudah siap di ruangan. Lansung saya memperkenalkan diri, dan ternyata dia masih ingat. Rokok Dunhill dengan bungkus warna perak miliknya segera disulut, di pojok ruangan alunan lagu klasik mengalir dari cd player. Dan berikut adalah narasi diskusi selama 49 menit malam itu:


Kami sedang mengupayakan sebuah inisiatif kecil mengenai kredit mikro di penduduk sekitar kampus. Namun kita sedikit mengalami keraguan karena yang akan kita hadapi adalah penduduk urban yang mempunyai habitus kredit untuk konsumsi. Bagaimana mengatasinya?


Untuk pertanyaan How? seperti ini maka jawabanya hanyalah come and see. (romo Herry lekas mengambil sebuah buku yang berisi alamat Rm Sumarwan SJ, seorang penggagiat micro credit di Jakarta). Kasusnya mirip, masyarakat urban. Segera kamu kesana dan ikut dalam kegiatanya.

Seberapa besar sebenarnya impact dari berbagai kegiatan “kecil” macam kredit mikro?

Jika menyankut hal ini maka pertanyaan bukan lagi how yang jawabanya tak lain adalah come and see namun sudah mengangkut Why? Yang membutuhkan eksplorasi. Pertama-tama hampir mustahil untuk menggantikan sistem yang sudah ada. Sehingga yang paling mungkin adalah dengan menciptakan beberapa alternatif. Sehingga jika sistem yang ada sekarang kolaps, ada pegangan-pegangan lain yang menopang kehidupan sosial. Selain itu, alternatif-alternatif yang ada sekarang ini juga mengurangi penghisapan yang dilakukan oleh sistem.

(seketika romo Herry menghadap papan tulis dan mulai menggambar):




Jika dunia ini dikuasai oleh suatu sistem x, maka pada celah-celah di dunia ini harus diciptakan alternatif-alternatif yang non-x. Atau alternatif lain yang biarpun tidak beroposisi langsung (seperti non-x) namun tetap berbeda dari x seperti y atau n.
Salah satu contohnya adalah ketika seorang Aburizal Bakrie perusahaannya kolaps, dia tetap saja bisa makmur, namun bagaimana dengan seorang pedagang sayur?

Banyak dari kawan-kawan merasa frustrasi ketika harus menghadapi sistem x tersebut karena kadang sifatnya yang ada di mana saja dan telah merasuk dalam segala sendi kehidupan. Kadang mereka juga menganggap bahwa posisi untuk meciptakan alternatif lain selain non-x, atau untuk tidak terlalu frontal untuk menghancurkan sistem x dianggap kompromistis…

Untuk apa saya kompromi tetapi itu berarti kematian? Bukannya tujuan dari semua ini adalah kehidupan?

Menurut saya itu bukan kompromi tapi pada kondisi survival yang pada prinsipnya tetap setia kepada kebenaran. Selain itu kompromi atau tidak kompromi kadang sering dijadikan jargon ideologis belaka. Dimana nantinya dalam polemik ideologi yang berhadapan hanya akan mempertegas posisi masing-masing dan memperuncing perdebatan.
Bagaimanapun market is not always a bad thing… Seperti layaknya hutan yang didalamnya banyak sekali pohon yang tidak homogen. Tinggal persoalannya terletak pada kita untuk memilih pohon yang membuat kita hidup, bukannya malah mati.

Tapi di lain sisi heroism yang radikal adalah bagian dari kemudaan. Kentungan dari membaca buku dan menjelajah teori adalah kompleksitas setiap sudut gagasan bisa dipelajari dengan lebih mudah. Namun dalam real life, butuh encounter (pertemuan) yang nyata.

Lalu apakah ini berati kompleksitas gagasan tidak perlu? Kemudaan butuh itu, dan pengalaman perlu diasah dengan teori juga. Tapi mau tidak mau tranformasi harus bertemu dengan darah dan daging yang ditunda dalam gagasan.

Contohnya adalah gagasan multitude dari Antonio Negri, ia dengan berhasil mampu mendeskripsikan “massa yang banyak dan jamak” dalam buku. Namun tetap sulit untuk bisa dilihat langsung dalam bentuk darah dan daging. Kalau berhadapan dengan real life, mau tidak mau memang ada negosiasi.

Seperti yang sudah saya bilang tadi, jika pertanyaannya apa dan mengapa? Maka jawabanya bisa dijawab melalui teori. Namun kalau pertanyaan bagaimana? Maka jawabanya sederhana: come and see.

Dalam dunia ide bisa dibilang memang banyak ceteris paribus , atau bisa dibilang banyak yang disederhanakan. Namun dalam dunia riil ceteris paribus itu tidak berlaku, dan yang bersifat nyata sulit untuk diklasifikasikan secara jelas. Seperti pembicaraan kita sekarang ini, apakah ini bisa disebut momen kebudayaan atau momen politis? Bisa disebut pendidikan atau upaya politik? Susah untuk menjelaskannya.

Jelas kita harus tetap untuk membaca buku, itu penting. Namun untuk mencapai kematangan, kini saatnya untuk dialektika antara yang ceteris paribus dan non-ceteris paribus. Tidak ada yang bisa mengetahui masa depan dimana berakhirnya dialektika ini, namun yang pasti akan selalu ada pertentangan abadi anatara tesis dan antithesis. Dimana sintesisnya? Ya di antara antithesis dan sintesis tersebut.

Akan selalu ada keinginan untuk memilih salah satu sisi saja, namun kemudian pasti kita akan jadi miskin. Karena tidak dapat dipungkiri hidup akan selalu dalam tegangan antara yang local dan global, antara aksi dan refleksi, antara dunia dan surga. Jika ingin setia pada kebenaran ya hiduplah dalam tegangan. Biarpun terkadang pilihan hidup seperti itu seringnya painfull dan terasa sendirian.

Lalu dengan hidup dalam tegangan ini disebut tidak konsisten atau tidak tegas? Saya biasa disebut oleh orang kiri dalam posisi kanan dan oleh orang kanan dalam posisi kiri. Kesannya memang tidak begitu tegas, namun konsistensinya justru terletak pada kesetiaan untuk hidup dalam tegangan itu sendiri.

Sayangnya kita hidup dalam republik yang intelektualnya sering memakai kacamata kuda: Lebih mementingkan untuk menjadi keras dalam polemik yang hanya meruncingkan posisi masing-masing.

(Pembicaraan sempat terhenti sebentar, Romo Herry tiba-tiba mengambil BlackBerry TouchScreen milknya, sedikit bercerita bahwa ia mendapatkanya ketika mengisi suatu seminar, bukan dia yang minta, lalu pembicaraan beralih
):

Sekarang ini kita hidup dalam dunia virtual: Handphone, Internet, Televisi. Yang material kebanyakan telah jadi virtual. Tangan kotor di lapangan kadang sudah tidak jadi penting. Padahal Tuhan untuk bisa diimani pun dia harus menjelma menjadi material dulu (dia bicara soal inkarnasi Yesus).

(Lalu sedikit saya bercerita mengenai pengalaman Klub Kebun, ketika kita harus mengolah tanah, menanam bibit sayur dan memperhatikan tanaman itu dari hari ke hari. Semacam ada kesabaran yang tak mungkin terhindarkan untuk mengamati tanaman-tanaman itu. Berbeda dengan ketika kita ada dalam ranah teori yang seringkali ingin cepat sampai di garis finish, ada sesuatu yang tak bisa luput dalam menanam sayuran itu. Kata Romo Herry: Keterlibatan itu memang akan terus mentraining emosi kita. Dan Real Human Being is really complicated).

Senin, 01 Agustus 2011

Kurir Pos Selatan


“Some celestial event. No - no words. No words to describe it. Poetry! They should've sent a poet. So beautiful. So beautiful... I had no idea.” Eleanor ‘Ellie’ Arroway, Contact (1997).

Toh, Ellie pun akhirnya berkata demikian, ketika dia dihadapkan pada pemandangan maha-akbar nan tremendum et fascinatum setelah berhasil mengendarai wahana pertama yang konon dapat mempertemukan manusia dengan alien. Kata-kata sebelumnya yang sanggup dia ucapkan dengan mantap “Mathematics is the only true universal language”, jadi kehilangan taji. Pada momen yang susah payah ia capai dengan logika dan logaritma, ia justru kehilangan kata-kata. Dan untungnya dalam kisah Courrier Sud (Pesawat Pos Selatan) ini kita mendapatkan dua-duanya: seorang pilot dan seorang pencerita yang brilian: Antoine de Saint-Exupéry.

Buku ini saya temukan masih terongok di rak yang sama, di sebuah toko buku di Jogja, sejak 6 bulan yang lalu, masih saja nyempil sendirian. Waktu itu saya ragu membelinya karena merasa sudah cukup banyak membeli buku. Namun saya beli juga beberapa waktu yang lalu, setelah sempat kembali lagi ke toko buku itu, mungkin karena buku itu masih saja di tempat yang sama, sendirian. Dan alhasil banyak hal ajaib yang dapat kita temukan dalam buku ini.

Pertama-tama, jangan anda harap menemukan cerita asik dunia anak kecil seperti karya terakhirnya: Pangeran Kecil. Dan benar saja, setelah banyak teman yang mencicipi buku ini, mereka berkomentar “berat”. Namun novel pertama yang ia tulis ini harus diakui menyimpan keajaibannya sendiri, juga sesuatu yang serba subtil jika memang anda cermat.

Tiap bab bisa jadi merupakan penggalan cerita sendiri, karena itu jangan anda harapkan suatu alur yang lurus nan lempang. Sebuah montase mungkin lebih tepat menggambarkannya: potongan-potongan gambar, kejadian, atau sekedar khayal tak kenal tepi. Seperti halnya suara radio panggil (atau telegram?) dari satu pos ke pos lainnya (yang mengawali dan mengakhiri buku ini), yang ditulis begitu saja, sering tanpa keterangan lebih lanjut, membawa kita pada gambaran usaha manusia menembus kesunyian di Gurun Sahara:

Dari Saint-Louis di Senegal untuk Port-Etienne: pesawat belum tiba di Saint-Louis. Stop. Penting. Beri kabar.


Tersebutlah Jacques Bernis, seorang kurir pos yang biasa berkelana menyisir dataran eropa, menyebrangi laut mediterania dan berkelana jauh ke koloni-koloni di Afrika selalu tampak asing bagi peradaban yang maju. Berkendara pesawat sejenis Lockheed P-38 tua, dengan sayap yang rapuh dan kawat yang selalu bergetar, kita selalu diajak untuk membayangkan perjalanan itu: Langit yang bening menampakkan bintang, bukit pasir yang mengular hingga jauh, tepi laut merah tempat awan bercermin.

Namun keseluruhan cerita di sini bukan melulu mengenai romantisme alam dalam perjalanan udara. Seperti yang hampir mirip kita temukan dalam novel Antoine de Saint-Exupéry yang lain, ada kesenduan pribadi yang merasuk dalam cerita. Jacques Bernis, sang tokoh utama, sering berkelindan dengan tokoh ‘aku’, si narator kisah. Hingga tampak si narator mencoba menceritakan dirinya lewat tokoh Bernis. Dan jika anda ingat si mawar dalam kisah pangeran kecil, maka dalam kisah ini mawar itu bernama Genieve. Dan dalam tokoh Genieve inilah seluruh cerita sebenarnya berputar, termasuk Jacques Bernis dalam memilih tindakannya.

Jelas sekali dalam novel pertamanya ini, terlihat kontras dengan magnum opus dan karya terakhirnya si Pangeran Kecil: Segala hasrat perayaan hidupnya memuncak disana. Namun dapat kita temukan jejak-jejak sebelum Pangeran Kecil muncul, tema yang sama mengenai pesawat terbang, bintang serta padang pasir, pelarian (dalam pangeran kecil, ia lari memanfaatkan gerombolan burung yang bermigrasi!), ketersesatan, pertemuan dan kematian itu.

Mungkin bagi Saint-Exupéry, hidup dirayakan dalam pekerjaan (beserta kenikmatan menikmati pemandangan dari ketinggian) dan ingatan masa kecil. Hingga tepat pada 67 tahun yang lalu, pada 31 Juli 1944, tak lagi kita dapati keberadaannya. Seperti sirna.

Dari Saint-Louis di Senegal untuk Toulouse: Pesawat Perancis-Amerika ditemukan Timur Timeris stop. Dekat daerah musuh. Pilot tewas pesawat hancur surat-surat selamat. Teruskan ke Dakar
.

Dan bagi saya di sinilah letak keajaiban buku ini. Merupakan novel pertama dari Antoine de Saint-Exupéry yang ditulis ahun 1926, namun novel ini juga seakan meramalkan kematiannya sendiri di tahun 1944. JIka tidak percaya, baca buku ini hingga selesai. Sebuah kebetulan? Yang pasti kita jadi agak paham kenapa banyak kritikus menyebut karya ini merupakan otobiografinya. Namun hidup yang seperti sudah ia gariskan 40 tahun sebelumnya? Mungkin hanya kedalaman laut Mediteran, di selatan Carqueiranne, yang bisa paham.

Setelah membaca buku ini seorang teman tiba tiba datang dan membanting buku ini di depan saya. “Apa ini? Buku sampah! Masih jauh lebih bagus Pram! Mendayu-dayu gak jelas”.

Ok.

Tidak semuanya harus jadi Pram bukan? Mao boleh saja pemimpin Revolusi, dan Ho Chin Mihn boleh saja menjadi bapak bangsa Vietnam. Toh puisi yang mereka tulis pun jauh dari garangnya realisme-sosialis: tentang temaram bulan, sejuk semilir angin, sungai yang mengalir pelan.

Jakarta, 31 Juli 2011
Bramantya Basuki